1. Swastika adalah Jerman Nazi, Jerman Nazi adalah Swastika
Ini mungkin salah satu dari sekian kekeliruan yang kerap terjadi. Jerman Nazi memang berlambang swastika, tapi swastika tidak serta-merta hanya dimiliki oleh Jerman Nazi. Swastika sendiri diperkirakan telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, pertama kali diperkenalkan di India dalam penyebaran agama Hindu — dan kemudian Buddha — di Asia sekitar tahun 3000 SM. Kemudian swastika mulai memasuki region Eropa sekitar tahun 400-350 SM dan mulai dikenali sebagai simbol keagamaan maupun animisme-dinamisme sebelum agama Kristen mendatangi kawasan Eropa.
Setelah agama Kristen menjadi agama mayoritas di Eropa, keberadaan swastika perlahan-lahan memudar hingga hilang sepenuhnya, sebelum dia kembali muncul lagi pada abad ke-19. Puncaknya, lambang swastika ini diadopsi oleh Adolf Hitler sebagai lambang Jerman Nazi dengan dan sejak itu menimbulkan stigma di kalangan dunia. Istilah yang digunakannya kala itu adalah Hakenkreuz, yang berarti “salib berkait”, searti dengan istilah yang digunakan Jepang dengan sebutannya yaitu Kagi juuji.
Mengenai alasan Hitler sendiri mengapa ia memilih swastika sebagai lambangnya adalah karena ia melihat swastika sebagai simbolisasi keberhasilan ras Arya (mengingat ras Arya pertama kali datangnya dari India), dan juga lambang kreatifitas serta anti-Semitik — seperti yang sudah dijelaskan Hitler dalam bukunya berjudul Mein Kampf. Swastika dalam partai Nazi juga dikenali sebagai simbol yang membuat dan menjalani kehidupan (das Symbol des schaffenden, wirkenden Lebens) serta pelambangan ras Jermanisme (Rasseabzeichen des Germanentums).
.
2. Naziisme adalah Komunisme
Ini salah satu miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat, terutama dalam masyarakat Indonesia. Mungkin gara-gara kemiripan Naziisme yang bersifat totalitarian, juga ketakutan masyarakat Indonesia terhadap komunisme hingga sekarang, sampai akhirnya muncul anggapan begini. Saya tegaskan dengan sangat, Nazisme itu sama sekali bukan komunisme.Dilihat dari latar belakangnya, Adolf Hitler justru membenci komunisme (dan Yahudi) karena menganggap mereka sebagai penghianat bangsa Jerman dan penyebab kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I karena adanya konspirasi antara mereka dengan yang lain.
Dari ideologi dasarnya sendiri pun sebenarnya dapat dilihat perbedaan yang cukup jelas. Nazisme adalah ideologi politik sayap kanan atau right wing, bentuk konservatif yang mendasar pada keseragaman. Sementara komunisme adalah ideologi politik sayap kiri atau left wing, bentuk radikalis yang konon lebih cenderung ke perseteruan dan konflik. Meskipun Hitler memulai pendirian partai Nazi sebagai pemegang kekuasaan dengan percobaan kudeta (yang kurang berhasil), hal itu tidak serta merta membuatnya sebagai partai komunis. Hitler dalam Mein Kampf menyatakan dengan jelas bahwa Nazisme adalah anti-komunisme.
.
3. Keseluruhan Jerman Nazi adalah Sekumpulan Maniak Sadis
Mendengar kata Jerman Nazi mungkin identik dengan 3 kata: fasis, sadis, dan rasis. Dan yang paling sering didengungkan adalah sadis. Padahal tidak sepenuhnya seluruh Jerman Nazi begitu. Serdadu-serdadu Jerman Nazi juga masih manusia; mereka pada dasarnya juga masih menyukai kehidupan harmonis bersama. Saya rasa ini masih merupakan generalisasi yang terlalu cepat untuk menganggap keseluruhan Jerman Nazi sebagai noda hitam kelam; mungkin rada mirip dengan menganggap invasi Amerika Serikat ke Irak itu adalah kesalahan seluruh rakyatnya, dan kemudian dengan serta-merta membenci Amerika Serikat secara total dan memberinya label-label buruk yang mengerikan.
Padahal kalau mau ditilik lebih jauh, banyak tokoh Jerman Nazi yang kurang setuju atas beberapa keputusan yang diambil pejabat kalangan atas semisal Himmler atau Goebbels. Sebut saja yang paling terkenal, Erwin Rommel, yang menurut saya pribadi tindakannya justru lebih strategis dan lebih bijak dibanding pejabat kalangan atas lainnya. Kemudian ada Heinz Guderian, Otto von Stuepnagel, juga Claus von Stauffenberg yang menjadi kunci dalam plot 20 Juli menentang Hitler — meskipun menurut saya sendiri mungkin plot itu masih agak terlalu terburu-buru.
Oke, mungkin dalam kemiliterannya sendiri Jerman Nazi memang memiliki The Snipers 10 Commandments yang cukup berbau fanatis. Tapi itu tidak serta merta membuat mereka sebagai setan sadis yang maniak dan haus darah, ‘kan? Justru menurut saya itu bisa menjadi alat picu bagi dorongan moral sang prajurit.
.
4. Schutzstaffel adalah Unit Tentara Secara Sepenuhnya
Bicara soal peran Schutzstaffel — yang biasa disingkat dengan SS — dan Waffen-SS serta perannya dalam kekuatan militer Jerman, diperlukan pengetahuan mengenai sejarah organisasi ini terlebih dahulu.SS pertama kali dibentuk pada tahun 1925, ketika Nazi waktu itu masih berupa partai yang bersaing dengan partai lainnya, sebagai unit pengawal pribadi Adolf Hitler yang hanya beranggotakan 8 orang. Seiring dengan menguatnya kekuatan partai Nazi saat itu, maka kuantitas dalam SS ditambah hingga membentuk organisasi dengan skala yang lebih besar. Akhirnya, pada tahun 1933 — ketika Nazi sudah memegang kendali sebagai partai politik tunggal — SS sudah beranggotakan lebih dari 100.000 orang, dan kemudian mulai mencoba menyingkirkan organisasi Sturmabteilung (SA) hasil bentukan Ernst Roehm yang berisi anggota-anggota masyarakat kelas menengah ke bawah, karena SS masih dianggap sebagai organisasi second-class yang berkedudukan dibawah SA.
Tahun 1934, SS berhasil menggantikan SA dengan menyingkirkan mereka dalam suatu insiden yang dikenal dengan nama “Malam Pisau Panjang” atau Night of the Long Knives (dalam operasi militer, dikenal juga dengan nama Operation Hummingbird). Sejak peristiwa ini, pengorganisasian SS mengalami perubahan besar. SS terhitung sebagai deretan eksekutif politik, juga di saat bersamaan bertanggung jawab atas pengurusan kamp-kamp konsentrasi dengan nama Waffen-SS (Schutzstaffel bersenjata). Barulah nantinya, seiring dengan panasnya Perang Dunia II, SS diperhitungkan sebagai organisasi militer yang keberadaannya bisa dibilang mampu mengimbangi — bahkan menyaingi — Wehrmacht, angkatan bersenjata Jerman.
Jadi bisa disimpulkan bahwa SS tidak langsung muncul sebagai unit militer, namun diawali dengan organisasi kecil yang dibuat untuk kepentingan politik sebagai pengawal pribadi Hitler.
.
5. Jerman Nazi Hanya Beranggotakan Ras Jerman Murni
Mengingat sikap Jerman Nazi yang cukup rasis, serta kebanggaan besarnya terhadap ras Arya, mungkin menimbulkan anggapan bahwa di dalam Jerman Nazi hanya terdiri atas ras-ras Arya Jerman murni. Tapi pada kenyataannya, terutama dalam struktur militer Jerman Nazi, secara ras dan agama anggotanya cukup bersifat heterogen dan bukannya homogen.
Logikanya ini bisa terjadi karena untuk mewujudkan angkatan bersenjata solid dan kuat yang hanya berisi ras Arya saja dalam keadaan Perang Dunia dirasa cukup sulit. Dari sisi logistik dan kekuatan moral juga mungkin susah untuk diwujudkan. Maka dari itu pada akhirnya ras-ras selain Arya juga diperbolehkan bergabung dalam angkatan bersenjata Jerman (Wehrmacht), bahkan unit khusus Waffen-SS yang pada awalnya hanya berisi orang-orang tertentu.
Dalam perkembangannya, berbagai negara yang bahu-membahu dengan Jerman sebagai sukarelawan dalam Perang Dunia II juga bisa jadi penyebab timbulnya heterogenitas dalam kekuatan militer Jerman. Sebut saja dari India, Rusia, Ukraina, maupun Bosnia yang mayoritas berisi Muslim yang tidak betah situasi kacau saat itu.
.
6. Propaganda Joseph Goebbels yang Membenarkan Kebohongan
Sebarkan berita kebohongan secara terus menerus, kemas dengan cara yang terbagus, niscaya ia akan menjadi kebenaran.Mungkin ada yang pernah dengar mengenai kutipan yang datang dari Joseph Goebbels, menteri propagana Jerman Nazi, yang ini. Versi Inggrisnya, “If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it.” Dari sini kesannya Goebbels seperti membenarkan bahwa cara untuk meyakinkan orang itu bisa datang dari kebohongan. Tapi sebenarnya, kutipan itu masih bersifat setengah-setengah. Dalam artian, Goebbels tidak membenarkan cara itu.
Sebenarnya kutipan Goebbels ini justru sedang menyindir Winston Churchill yang memberikan kebohongan-kebohongan tanpa bukti melalui New York Times mengenai situasi saat itu, dan bukannya justru sedang membicarakan tekniknya dalam berpropaganda. Kalau teknik propaganda itu sendiri ia justru lebih menekankan bagaimana cara persuasif untuk bisa meyakinkan orang apa yang dipropagandakan; the point of a political speech is to persuade people of what we think right.
Jadi bisa dibilang kalau Goebbels itu sedang menggunakan gaya bicara satir untuk menyindir Churchill, dan praktisi “taktik kebohongan” itu justru sebenarnya Winston Churchill. Bukannya Joseph Goebbels.
.
7. Adolf Hitler adalah Seorang Occult
Sebagian pemimpin Jerman Nazi, terutama Heinrich Himmler, mempunyai keyakinan lebih kepada hal-hal yang berbau gaib dan mistik dibandingkan keyakinan mereka terhadap agama. Hal ini dapat terlihat dalam ekspedisi Himmler mencari tradisi dan kultur ras Arya hingga ke Tibet, pemasangan tradisi-tradisi mistik yang rada aneh, dan lain sebagainya. Singkatnya, sebagian dari Jerman Nazi memang menunjukkan adanya gejala-gejala occultism di dalamnya — meskipun hal itu memang diakui hanya sebagai aspek minor dan bukan mayor dalam perkembangannya.
Tapi sebenarnya Hitler sendiri tidak terikat dengan berbagai macam ide-ide esoterisrelijius yang kritis; kurang menyukai Kristen konservatif namun tetap mempercayai Kristus serta tradisi-tradisi keagamaan Kristen Jerman. semacam itu, yang mana sering disalahperkirakan karena Himmler membentuk organisasi esoteris dengan membawa nama Hitler. Hitler lebih tepat kalau disebut sebagai seorang
Pernah juga suatu ketika Hitler mengaku menaruh kekaguman terhadap tradisi militer Islam kepada Albert Speer. Jadi dia bukan seorang yang lebih percaya kepada hal-hal mistik semacam Himmler, tapi bisa jadi dia cukup menghargai kultur-kultur dan budaya masa lalu — terlihat dengan ketertarikannya pada Holy Roman Empire.
.
8. Seluruh Anggota Jerman Nazi Telah Diadili Dengan Seadil-adilnya Dengan Hukuman Mati Setelah Perang Dunia II
Melalui Nuremberg Trials atau Pengadilan Nuremberg, katanya. Tapi kalau mau bicara konsep “seadil-adilnya,” sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Rata-rata pengadilan yang dilakukan masih berdasarkan pada Siegerjustiz, dimana para pemenang perang lah yang dijadikan acuan dalam menentukan konsep keadilan. Beberapa hal lainnya, seperti pengadilan tidak seimbang atas kejahatan terhadap kemanusiaan bagi para opsir yang hanya menuruti perintah atasan juga bermasalah. Namun, memang, bicara masalah keadilan ini memang masih multi-tafsir. Oleh karenanya saya tidak akan membahasnya secara lebih spesifik lagi.
Mari beralih ke poin yang diusung sebagai kata keterangan dalam pendapat diatas, yaitu, “…dengan hukuman mati.” Sebenarnya, hal ini tidak sepenuhnya tepat. Sebagian opsir Jerman Nazi yang berhasil tertangkap dan akan diproses dalam Pengadilan Nuremberg justru mengakhiri hidupnya sendiri dengan racun sianida. Contohnya yang paling mudah adalah Heinrich Himmler; terkenal dengan kutipan terakhirnya yang berbunyi, “Ich bin Heinrich Himmler!”
Lalu juga tidak semuanya dengan serta-merta diproses ke hukuman mati. Beberapa anggota Jerman Nazi yang beruntung mendapat pengadilan yang adil, diberikan kompensasi dalam Pengadilan Nuremberg dan tidak perlu mengakhiri nyawanya dalam derita penjara yang menyedihkan maupun diakhiri nyawanya di lapangan eksekusi. Mereka dapat menikmati indahnya hidup dalam sisa umur mereka. Misalnya saja Kurt Waldheim, mantan serdadu Wehrmacht, yang di kemudian hari sempat menjadi diplomat Austria dan Sekjen PBB — meskipun memang menuai banyak kritik.
Selain itu, mengacu pada nasib para mantan Jerman Nazi setelah Perang Dunia II, ada beberapa dari mereka yang mampu melarikan diri. Salah satu faktor penyebabnya bisa jadi karena ODESSA, organisasi bentukan Otto Skorzeny, mantan petinggi Waffen-SS yang sempat jadi agen Mossad, yang membantu para mantan anggota Jerman Nazi untuk melanjutkan hidup mereka — entah berusaha kabur dari kejahatan perang atau untuk menghindari prasangka buruk dari dunia internasional padahal mereka tidak bersalah. Meskipun begitu, sebenarnya ratlines (istilah yang merujuk ke jalur kabur para anggota negara fasis di PD II) yang digunakan para mantan anggota Jerman Nazi ini justru kebanyakan bukan dibentuk oleh ODESSA, melainkan atas bantuan dari pemerintah negara-negara tertentu dan institusi internasional.
Jadi, dengan ini bisa disimpulkan bahwa tidak semua anggota Jerman Nazi dihukum mati setelah Perang Dunia II, namun ada yang bunuh diri dan masih hidup — entah dengan jalan legal maupun ilegal. Pengadilan Nuremberg, ODESSA, Amerika Serikat, Timur Tengah, Otto Skorzeny, dan Mossad hanya sebagian dari yang mempengaruh nasib para mantan anggota Jerman Nazi.
0 komentar:
Posting Komentar