Senin, 07 Maret 2011

Kokoda


Pedalaman rimba kawasan utara Papua Nugini 1942, satu peleton dari batalyon 39 Australia Imperial Force yang miskin pengalaman dan perlengkapan tempur harus berhadapan dengan satuan elit bala tentara kolonial Jepang, Detasemen Laut Selatan, dalam jumlah yang 10 kali lipat lebih banyak. Musuh bergerak cepat, bersiap mengambil-alih Port Moresby sebagai batu loncatan untuk menganeksasi Australia.
Setelah dicabik-cabik oleh sergapan musuh dan kerasnya alam, peleton itu terpisah dari pasukan induknya. Terisolasi di kelebatan rimba dan dihantui desingan peluru sniper-snipermusuh. Dalam perang rimba seperti itu, tiap belukar, pohon, atau gundukan tanah adalah tempat persembunyian potensial bagi musuh untuk mengendap dan mengintai. Jadi, berondonglah apapun yang terlihat bergerak, menembak sebelum tertembak. Dan saat satu per satu dari mereka berjatuhan diterjang pelor panas, kepemimpinan sang letnan pun diragukan.

Tiga hari tiga malam terseok-seok tanpa makan dan tidur sembari terus menggotong rekan yang terluka, didera malaria dan disentri, peleton kecil itu dalam keletihannya yang teramat akhirnya menembus kelebatan hutan dan mencapai sebuah permukiman: Desa Isuvara. Tapi semua itu ternyata cuma untuk kembali mendapati kenyataan bahwa desa itu telah dikepung dan di ambang penyerbuan gelombang besar musuh. Tak banyak pilihan di saat begitu kecuali kembali memanggul senapan, mencari posisi, dan bersiap bertaruh nyawa menghadang musuh.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons