Kamis, 21 Juli 2011

Semoga Tak Jadi Kapak Pembunuh


Hedwig Born, istri ilmuwan Jerman Max Born, pernah bertanya kepada Albert Einstein, apakah dirinya percaya bahwa segala sesuatu dapat diekspresikan secara ilmiah? Einstein menjawab, ya. Akan tetapi, katanya lagi, itu tak akan berarti apa-apa. “Seperti sebuah penjelasan tanpa makna. Seperti menjabarkan simfoni Beethoven dalam variasi-variasi gelombang tekanan,” sambung ilmuwan pencipta persamaan E=mc2 yang amat terkenal itu.

Bincang-bincang itu terjadi sebelum Einstein hijrah ke AS dan menjadi konsultan khusus dalam Proyek Manhattan. Ia begitu menghormati Max Born, begitu pula istrinya. Maklum, Born tak lain adalah profesor fisika dan pakar kosmologi dari Universitas Gottingen, Jerman. la juga merupakan mentor dari banyak pakar atom yang kemudian menentukan massa depan dunia.Saat itu pernyataan sederhana Hedwig tak memberi tekanan apa-apa padanya. Tetapi tidak beberapa tahun kemudian, setelah iA gagal membujuk Presiden Harry S. Truman agar mau membatalkan keputusan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Pertanyaan Hedwig ternyata punya makna luas. Sesaat setelah dunia menyaksikan penderitaan di kedua kota, Einstein pun merasa tertekan. Terlebih karena dialah yang mendesak Presidem Roosevelt, pendahulu Truman, agar mau mendahului Jerman membuat bom atom.

Lewat berbagai upaya, Jerman yang pernah selama beberapa dasawarsa jadi momok di Eropa dan Afrika toh menemui kegagalan. Selain karena banyak para ahlinya yang hengkang ke AS; fasilitas utamanya di Norsk Hydro, Vemork, hancur akibat disabot Sekutu.

Seperti diharapkan, bom atom memang menghentikan seketika perang skala besar,Pera Dunia II dan Perang Pasifik.Namun,
kemudian muncul konsekuensi logis yang harus ditangung semua bangsa. Yakni,bahwa kemunculannya serta-merta telah memicu lomba senjata yang menimbulkan efek psikologis yang iauh lebih berat.

Kemampuan Uni Soviet, Cina, Prancis, Inggris, dan negera-negara dunia ketiga macaw India, Pakistan, Irak, dan Korea Utara dalam membuat senjata nuklir tak tertahankan langsung menyudutkan rasa damai dan tentram ke ujung tanduk kehancuran. Kita sama-sama tahu, masing-masing tentu telah menyusun konsep pemusnah ini menurut kepentingannya sendiri. Demi kedigdayaan, demi ketahanan diri, dan demi ambisi menundukkan lawan-lawannya.

Suatu hari Einstein pernah mengata kan, bahwa minatnya di bidang ilmiah digerakkan oleh kerinduannya yang tak tertahankan untuk memahami rahasia alam. Selain itu juga karena kecintaannya pada keadilan dan dorongan untuk membantu memperbaiki kesejahteraan umat manusia. Harapan seperti ini mestinya juga muncul dalam benak kebanyakan ilmuwan yang gencar menguak temuan-temuan baru.

Namun, apa yang bisa dikatakan, ketika temuan-temuan mahadahsyat itu justru lebih banyak digunakan untuk saling mengancam, berperang, dan memusnahkan?

Negara-negara berkemampuan nuklir sebenarnya telah berusaha saling kekang.Mereka telah membuat berbagai perjanjian dan kesepakatan pembatasan senjata.Banyak diantara mereka juga telah memanfaatkannya sebagai pembangkit tenaga
listrik dan medium rekayasa genetika bibit unggul. PBB pun telah membentuk badan yang berwenang melakukan inspeksi ke fasilitas-fasilitas yang ditengarai membuat senjata pemusnah.

Akan tetapi, badan pengawas bernama Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Agency itu toh belum bisa lepas dari pengaruh AS dan Inggris. Seperti ditunjukkan ketika mereka menyelidiki bukti-bukti pembuatan senjata pemusnah massal di Irak, misalnya. Beberapa pemeriksaan masih merupakan “pesanan” kedua negara.

Ilmu memang tak bisa memecahkan segalanya. Sumbangsihnya hanya bisa mengantar peradaban sampai batas-batas tertentu, yang belum tentu bisa menjamin peningkatan kesejahteraan, kemerdekaan, ketentraman, dan kedamaian secara kongkret. Tentang bagaimana temuan itu dimanfaatkan, ironisnya, masih amat tergantung pada telunjuk politisi yang biasa menentukan kebijakan dengan fokus kekuasaan dan kepentingan sepihak.

Jauh sebelum bom atom meledak di Hiroshima-Nagasaki, pada 1917, Einstein sebenarnya telah mencemaskan kemungkinan buruk itu. Bahwa, kemajuan teknologi yang dicapai suatu scat hisa saja menjadi “kapak pembunuh” di tangan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab.

Sayangnya, kemajuan sebuah negara bukanlah jaminan bagi kematangan dan kearifan dalam memegang senjata pamungkas. Untuk itu layaklah kiranya dalam Peringatan 60 Tahun Pengeboman Hiroshima & Nagasaki, segenap politisi di dunia bersatu dalam kepedulian bersama dan ingat akan kengerian yang pernah terjadi di kedua kota. Sebab, bukankah kita tinggal di dunia yang sama dan bom mendatang pasti jauh lebih mengerikan dari sekadar Little Boy atau pun Fat Man?


sumber : http://sejarahperang.com/2011/07/11/semoga-tak-jadi-kapak-pembunuh/

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons